Saat
mengendarai sepeda motor sepulang kerja, di depan saya ada sebuah mobil
sedan. Karena jalanan cukup sempit saya nggak bisa menyalipnya dengan
mudah. Apalagi dari arah berlawanan sering ada mobil juga. Setiap kali
direm, di bagian belakang mobil sedan itu, di balik kaca belakangnya,
ada tulisan teks berjalan dengan warna merah yang membuat saya harus
berpikir keras untuk menyerap maknanya. Kalimat itu tertulis: “Jangan
berani untuk sama”.
Jangan
berani untuk sama? Ya, ada baiknya juga memang kalimat tersebut, meski
kalimat itu menurut saya sangat bersayap alias bisa berarti banyak.
Tergantung siapa yang menerjemahkannya dan untuk menjelaskan beragam
maksud. Tentu sesuai pula dengan persepsi masing-masing orang. Itulah
sebabnya kalimat tersebut saya nilai sebagai kalimat “bersayap”.
Kalimat
“Jangan berani untuk sama”, bisa berarti bahwa kita nggak perlu minder
untuk berbeda dengan yang lain. Bahkan perbedaan itu sangat boleh jadi
justru sebuah keberanian. Tentu, kalo untuk sesuatu yang sama, nggak
usah (terlalu) berani. Begitu kira-kira. Sebuah pilihan yang mungkin
saja sudah dipertimbangkan sangat matang. Nggak asal aja.
Misalnya
nih, kalo ada temen yang punya hobi mantengin info olahraga sepakbola
mancanegara (dari mulai baca sampe nonton setiap pertandingannya di
televisi), ya kita nggak perlu harus merasa sama dengan hobi temen kita
itu. Apalagi jika kita nggak terlalu suka dengan segala hal yang
berkaitan dengan sepakbola. Tapi, karena ingin dianggap gaul soal
sepakbola dan supaya diterima dalam komunitas itu, akhirnya kita
memberanikan diri untuk punya hobi yang sama. Hmm.. itu salah besar
karena nggak mau jujur sama diri sendiri. Betul nggak sih? Meski tentu
saja, dalam hal ini, kalo pun pengen sama hobinya dengan teman kita itu,
silakan saja. Mubah aja kok.
Persamaan dan perbedaan
Sobat
muda muslim, persamaan dan perbedaan itu memang bisa berarti banyak dan
bisa banyak persepsi. Itu sebabnya, kita preteli dikit-dikit,
pilah-pilah supaya bisa menentukan sikap. Nggak asal beda aja, atau
nggak cuma merasa sama dengan yang lain. Setuju kan?
Nah,
kalo kita ‘syarah’ (dianalisis dan diperjelas) lagi, insya Allah kita
bisa nentuin sikap. Misalnya tentang keputusan kita memilih menjadi
aktivis rohis. Tentunya kita memilih berbeda dengan kebanyakan teman
lain yang justru saat itu lebih cenderung gabung di klub ekskul olahrga,
tari, pecinta alam, atau kegiatan lainnya. Berbeda dari teman lain
dengan menjadi aktivis rohis, tentunya ini adalah sebuah keberanian. Iya
kan? Berani untuk beda dengan teman yang ‘biasa’ aja, dan berani untuk
sama dengan aktivis rohis.
Lalu
bagaimana dengan teman kita yang justru ingin berbeda dari komunitas
anak rohis? Ia nggak berani untuk sama dengan anak rohis. Tapi berani
untuk berbeda dari anak rohis dengan menjadi anak gaul yang hobinya
dugem dan gaul bebas dengan lawan jenis. Baginya, menjadi aktivis dugem
dan gaul bebas adalah sebuah keberanian untuk tidak sama dengan anak
rohis.
Memang
sih itu pasti bergantung sudut pandang. Maka, sebuah standar wajib
dimiliki. Supaya nggak semua orang bisa mengklaim bahwa dirinya benar.
Boleh aja sih merasa dirinya benar, tapi harus bisa buktiin dengan kuat
kalo dirinya tuh benar.
Lha,
kalo yang kayak gini gimana jadinya? Hmm.. itu sebabnya, menurut saya
kalimat itu disebut “bersayap” alias banyak arti tergantung persepsi
orang yang menerjemahkannya. Waduh, gimana urusannya dong? Mana yang
benar dan mana yang salah? Kapan boleh berbeda dan kapan seharusnya
sama?
Tenang
sobat, nggak usah keburu bingung atau stres. Ini justru menurut saya
adalah bagian dari kelemahan kita sebagai manusia. Dengan demikian, kita
memang nggak bisa menentukan sesuatu itu benar atau salah sesuka hati,
pikiran, atau perasaan kita (termasuk hawa nafsu kita). Bahaya. Karena
apa? Karena bisa jadi banyak persepsi. Singkatnya, kita perlu standar
yang mengatur batasan-batasan tersebut. Ya, kudu ada ukuran yang fixed.
Nggak bisa sembarangan.
Inilah
barangkali alasan kenapa “ukuran panjang satu meter” pun sudah
ditetapkan secara internasional. Alat pengukur lain harus dikalibrasi
(diuji, dicocokan) dengan standar yang dibuat. Supaya ada kesamaan dan
kejelasan penilaian. Bayangin deh kalo untuk sebuah ukuran saja harus
ada sekian ukuran yang ditentukan sesuai selera masing-masing, kita
pasti bingung pilih yang mana. Iya kan? Misalnya aja ukuran panjang
“sedepa” itu diukur lewat panjang rentangan dua tangan tiap orang yang
beda-beda. Kalo kemudian masing-masing orang meyakini sesuai
pengukurannya, kita pusing. Karena setiap ukuran panjangnya jadi sesuai
‘ukuran’ rentangan tangan masing-masing. Padahal, orang yang tinggi
dengan yang pendek pasti beda ukuran rentang tangannya. Betul apa bener?
Boleh beda, tapi ada saatnya wajib sama
Sobat
muda muslim, saya menulis artikel ini dengan judul, “arti sebuah
perbedaan” tentu bukan tanpa alasan, lho. Begini nih penjelasannya.
Berbeda boleh saja kok. Asal, itu dalam sebuah koridor yang dibolehkan
untuk berbeda. Misalnya, untuk selera makan, ya nggak bisa disamain tiap
orang.
Rasa
suka kepada lawan jenis juga nggak bisa disamain untuk semua orang.
Warna baju juga boleh berbeda kok. Termasuk boleh juga berbeda pendapat
dalam masalah furu’iyah (cabang). Misalnya, kita nggak bisa maksa orang
untuk melakukan sholat shubuh dengan melakukan qunut atau tidak. Karena
kedua pendapat itu masing-masing memiliki dalil. Untuk kasus ini nggak
perlu ributlah. Nggak perlu mengklaim salah satu benar dan satunya pasti
salah. Karena yang seharusnya disalahkan adalah yang nggak sholat
shubuh. Seharusnya kedua belah pihak bersatu padu untuk menyadarkan yang
masih belum mau sholat shubuh. Tul nggak seh?
Bagaimana
dengan yang tidak boleh berbeda (dan itu harus sama), dalam masalah apa
aja? Nah, menurut saya di sini berlaku pernyataan bahwa “bagi yang mau
sama”, dapet gelar berani. Misal, sebagai muslim kita wajib menjadikan
Islam sebagai the way of life kita. Bukan agama lain, atau kepercayaan
lain (termasuk ideologi lain) untuk menuntun hidup kita. Ya, cuma Islam.
Di sinilah kita wajib sama dan kudu berani untuk sama. Karena kesamaan
ini jelas ada dalilnya. Ketika kita sudah menyatakan sebagai muslim,
maka seluruh kehidupan kita harus rela diatur oleh Islam. Bukan yang
lain.
Lho
kok Islam sih? Ya iyalah, memangnya mau aturan yang mana? Apakah kepala
sekolahmu nggak marah dan murka kalo sekolah di sekolahnya, tapi kamu
malah milih aturan sekolah lain, atau setidaknya nggak percaya dengan
aturan di sekolahmu sendiri. Adil nggak sih? Begitu juga dengan Islam.
Kalo udah menyatakan masuk Islam, berarti kudu setia diatur sama Islam.
Iya ndak?
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan..” (QS al-Baqarah [2]: 208)
Dalam
menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah Swt. telah
memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar
mengadopsi sistem keyakinan Islam (akidah) dan syari’at Islam,
mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya
selagi mereka mampu.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I/247)
Imam
an-Nasafiy menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk
senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah Swt. atau Islam (Imam
an-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112).
Imam
Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan “haal” dari
dlamiir “mu’miniin”. Makna “kaaffah” adalah “jamii’an.” (Imam Qurthubiy,
Tafsir Qurthubiy, III/18)
Diriwayatkan
dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, Abdullah
bin Salam, dan beberapa orang Yahudi. Mereka mengajukan permintaan
kepada Rasulullah saw. agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai
hari raya mereka (padahal mereka sudah masuk Islam). Selanjutnya,
permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas.
Terus
nih, Imam Thabariy juga menyatakan: “Ayat di atas merupakan perintah
kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah
untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh; dan larangan
mengingkari satu pun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”
(Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337)
Ini
artinya, kita nggak boleh menawar-nawar lagi untuk melakukan ibadah
yang bukan berasal dari Islam. Misalnya aja, bagi seorang mualaf, karena
dulunya setiap minggu ke gereja untuk kebaktian, maka setelah masuk
Islam udah nggak boleh lagi tuh ikutan kebaktian di gereja. Karena emang
udah bukan lagi ajaran dari Islam. Sebaliknya wajib taat sama Islam.
Sobat
muda muslim, dengan ayat ini, berarti kita kudu total dalam memeluk
Islam. Nggak boleh belang-belang. Nggak boleh setengah-setengah. Jangan
sampe berbagai aturan kita pake untuk ngatur hidup kita, padahal kita
muslim. Itu namanya “malapraktek”. Kita ngakunya muslim, tapi nyuri
barang orang lain jadi hobi kita. Kita bilang ke mana-mana bahwa kita
aktivis rohis, ternyata kita malah melakukan pacaran. Ortu kita rajin
ngajinya, tapi yang diulik bukan al-Quran, melainkan primbon Jawa atau
ajaran sekularisme. Lha, ini jelas salah prosedur, guys!
Di
sinilah kita harus berani untuk sama. Nggak boleh nekat berbeda. Allah
kembali menjelaskan dalam firmanNya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
(QS al-Ahzab [33]: 36)
Sebagai
kesimpulan, bahwa “arti sebuah perbedaan” itu kudu jelas batasannya.
Ada saatnya kita boleh berbeda, tapi ada saatnya kita harus sama. Tapi
standar boleh dan tidaknya kita berbeda atau sama itu hanya aturan
Islam. Ya, itu karena kita sebagai seorang muslim.
Guys,
jangan sampe kita berani untuk beda, tapi ternyata “bedanya” kita itu
malah dibenci dalam ajaran Islam. Karena apa? Karena perbedaan yang kita
kampanyekan justru melanggar ajaran Islam. Misalnya, kita sebagai
muslim berani beda dengan cara mengkampanyekan pentingnya demokrasi dan
sekularisme sebagai the way of life kita. Atau, kita menganggap bahwa
Islam nggak boleh diterapkan sebagai ideologi negara. Wah, itu sih
namanya perbedaan yang tak pantas disandang dan bahkan mencoreng
kepribadian kita sebagai Muslim. Bukan pahala yang di dapat, tapi dosa.
Ati-ati ya Bro! Yuk, kita berani sama menjadi seorang muslim yang taat
dan pejuang Islam. Itu baru oke!
0 komentar:
Posting Komentar